Juli 04, 2013

MATA DARI SURGA YANG INDAH

Cerita Menarik Dari Sebuah Mata Yang Begitu Indah ( Mata Dari Surga)CERPEN TERBARU OKTOBER NOVEMBER DESEMBER DRAMATIS DAN ROMANTIS

            Lembutnya angin sore itu membelai halus rambut Helian yang sedang menyepi di teras depan rumahnya. Tergenggam ditangannya selembar kertas serta kuas berwarna yang telah ia gesekan di kertas itu, hingga kertas putih itu menjadi tempat beradunya ulasan kuas dan ulasan emosi dalam benak Helian. Kepiawaian tangannya memang mampu menjinakkan sebatang kuas itu, namun kepandaiannya dalam menghibur diri, kali ini belum bisa menjinakkan hatinya yang bergulat heboh di dalam sana.

           
“Sekarang coba kalian buat sketsa wajah seseorang. Buatlah semirip mungkin dengan aslinya dan ibu memberi kebebasan pada kalian untuk menentukan wajah siapa yang akan kalian gambar.” begitulah ianganku tentang perintah tugas dari bu Wati, guru seni di sekolahku dan merupakan guru terkaku di sekolahan ini. Tiada hari tanpa kritik, kritik dan kritik tentang semua hal yang ia jumpai. Termasuk aku dan Helian.
Coba pikir, kurang bagus apa lagi lukisan-lukisa Helian. Semua orang memujinya kecuali bu Wati. Mungkin bagi bu Wati, Helian memang bukan pelukis. Namun di mataku dia lebih dari pelukis. Setiap lukisan yang buat seakan memiliki jiwa yang tak pernah kujumpai di lukisan manapun. Jiwa tentang hatinya………….
Hari itu kuputar pikiranku untuk menentukan wajah siapa yang akan ku gambar. Tapi walau aku telah menentukannya, pasti tak seapik yang ku inginkan. Terlintas di benakku mengapa tak ku coba ke rumah sang master lukis itu? Ya Helian.
            “Hai Manda? Ada apa? Ayo silahkan masuk!” sergap Helian sesaat setelah ia bukakan pintu untukku yang telah berdiri tepat 1 meter darinya.
“Iya, trimakasih. Aku ingin belajar tentang sketsa wajah darimu Hel !” jawabku sambil masuk dalam rumah sepinya itu. Dia hanya tersenyum dan kamipun membuat sketsa bersama. Banyak sekali hal yang ku tanyakan padanya. Akhirnya aku berhasil menggambar sketsa wajah bu Wati yang ku pikir tak seseram wajah aslinya. Dan Helian………..
            Dia coba berkali-kali menggoreskan pensil runcing itu di kertas dengan sketsa wajah yang berbeda-beda pula. Tapi tak pernah ia pancarkan senyum kepuasan seperti yang selalu ia sunggingkan setelah selesai layak biasanya.
“Hel, gambarmu belum jadi ya?” tanyaku sedikit sungkan.
“Hem, belum. Tampaknya pensilku tak ingin bersahabat dengan sketsa-sketsa itu.” Jawabnya singkat sambil tersenyum dan mengamati sketsa-ketsa yang ia buat.
“Coba saja gambar orang yang selalu terpikirkan di hatimu. Siapa tahu semuanya bias tercurah di sini dan aku yakin, pasti hasilnya lebih dari yang kau bayangkan.” kataku coba memberi semangat.
            Dia menatapku, bibirnya rapat dan tak berekspresi. Namun matanya bicara dan aku bias merasakan hatinya tersenyum. Tanpa basa-basi ia ayunkan pensil hitam itu untuk menari-nari, seperti hatinya yang menari-nari ketika aku menyuruhnya tadi. Tak sampai lima menit, terpampang sesosok wajah yang sangat ku kenali. Tapi siapa....
“Reifan???”sahutku kaget ketika aku telah mengenali sketsa wajah itu. Ya, Reifan. Dia teman sekolahku dan Helian. Orangtuaku kenal baik dengan orangtuanya sehingga aku cukup akrab dengannya. Tapi kenapa Helian menggambar wajahnya?
            “Hel, kamu saudara Reifan atau apa?” tanyaku memecah ksunyian.
            “Bukan, aku bukan siapa-siapa Reifan. Aku hanyalah seorang pengagumnya.” jawab Helian memandangi karya dahsyat di depannya itu.
            “Jadi, setiap hal yang kau lakkan itu…” kataku terpotong sebelum aku meneruskannya.
            “Ya.” Jawabnya penuh kejujuran.
            Sudah lama aku mengamati hal-hal aneh yang sering ia lakukan. Ia sering menunggu Reifan dan membuntutinya tanpa Reifan sadari. Ia sering memuji Reifan dan selalu memperhatikannya. Tak jarang pula ia melukis sesosok wajah tanpa mata, hingga aku tak dapat mengenalinya. Namun kini aku susah bisa menebak siapa wajah yang sering ia lukis itu. Helian cukup pendiam, namun matanya tak bias sependiam dia. Aku sering merasakan sesuatu di matanya saat ia berbicara dengan Reifan. Sesuatu yang tak bisa ku ungkapkan. Sesuatu yang kini telah terbongkar.
            “Sedalam itukah perasaanmu padanya?” tanyaku setelah ia menceritakan semuanya dan sekaligus memecahkan teka-tekiku selama ini.
            “Ya seperti itulah.” hanya kata itulah yang terlontar dari mulutnya.
            “Dia tahu tentang ini?” tanyaku lagi.
            “Tidak, aku tidak ingin dia tahu. Aku hanya ingin kita dan Tuhan saja yang tahu.” jawabnya tenang namun aku tahu hatinya gelisah. Aku hanya mengangguk. Semua pikiran berkecamuk di dalam benakku. Aku tersentuh dengan ketulusannya.
            Hingga suatu hari……
            “Apa Reifan kecelakaan?” sahut suara Helian di ujung telefon sana.
            “Iya, dan sekarang ia ada di rumah sakit. Tapi aku sedang di rumah nenekku dan aku tak bisa menemanimu ke sana Hel !” jawabku.
            Ku dengar tak ada suara lagi dari telfon genggamku. Mungkin Helian lantas pergi ke rumah sakit melihat kondisi Reifan. Aku baru belum bisa menjengukku Reifan karena aku baru bisa pulang lusa.
2 hari kemudian……
            “Maaf  kamar inap saudara Reifan dimana ya?” tanyaku pada seorang petugas administrasi.
            “Reifan Arga Putra ya, di nomor 105 mbak.” jawabnya tersenyum
            “Trimakasih.” sahutku dan langsung berlari menuju ruang Reifan.
            Aku masuk dalam kamarnya dan ada ibu dan adik Reifan yang sedang menunggu. Seperti yang ku bilang orangtua kami saling kenal sehingga pantas saja jika aku khawatir dengannya. Belum lagi tentang perasaan Helian.
            “Permisi tante?.” ucapku lirih.
            “Ya, silahkan masuk !” jawab ibu Reifan.
            “Bagaimana keadaan Reifan tante?” tanyaku sambil memalingkan pandangan kearah mata Reifan yang tertutup perban putih tebal.
            “Ya begitulah. Matanya terluka dan ia tidak bisa melihat. Namun puji syukur pada Tuhan kemarin ada gadis yang ikhlas mendonorkan matanya. Sesungguhnya tante tidak tega menerimanya namun ia tetap memaksa dan apa boleh buat keadaan membuat tante menerimanya.” tutur ibu Reifan sambil mengusap air mata di pipinya yang mulai keriput.
            “Gadis? Siapa tante?” tanyaku resah. Aku takut jika gadis itu…….
            “Helian namanya.” jawab ibu Reifan singkat dan ia menangis tak kuat menahan haru.
            Lemas sudah tubuhku. Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Butir demi butir air mata mengalir deras di pipiku tanpa kusadari. Semua terjawab. Tentang penungguannya, tentang sketsa wajahnya dan tentang lukisan yang ia buat tanpa mata itu. Semua seakan tak bisa di percaya. Akankah lukisan tanpa mata itu akan terlengkapi dengan mata Helian yang sekarang sudah menancap di wajah Reifan? Oh Tuhan……apakah ini kebetulan atau mungkin ini memang jalanMu?
            “Sekarang, Helian dimana tante?” tanyaku dengan mata berkaca.
            “Dia….” ucap ibu Reifan yang tak mampu menahan kesedihannya yang memuncak dan menangis tersedu.
            “Kak Helian meninggal kak saat operasi berlangsung.” sambung adik Reifan yang juga menitikkan air mata saat itu.
            Darahku seakan mengalir lebih deras, jantungku seakan berdetak lebih kencang dan hatiku terasa semakin pilu. Tak sepatah kata keluar dari bibirku, justru air matalah yang keluar dengan derasnya. Semua seakan menghinggapi kembali. Tentang Helian, tentang lukisan, tentang hatinya dan semua seakan berontak di dalam hatiku. Semua bergulir di sana.

            “Pagi Manda !” ku dengar sapaan seseorang di belakangku.
            “Hai Fan, pagi juga ! Kok sudah masuk, sudah sembuh ya?” tanyaku.
            “Iya. Eh nanti aku mau ke makam Helian. Kamu mau ikut?” tanya Reifan.
            “Pasti, ada sesuatu hal yang juga ingin ku ceritakan.” ungkapku yakin.
            Aku dan Reifan termenung membisu di depan tumpukan tanah merah itu. Kami saling terbawa imajinasi masing-masing. Lagi-lagi tak bisa terbendung air mataku. Sehingga kubiarkan meleleh di kedua pipiku. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Reifan. Mungkin ia merasa bersalah, terharu, sedih atau bagaimana aku tak tahu. Yang jelas kami berdua seakan masuk dalam fantasi masing-masing. Lalu kulantunkan ayat-ayat suci untuk Helian, seperti dulu ia lantunkan cara membuat sketsa padaku. Sungguh, semua masih terlihat jelas dan terngiang di kepalaku. Reifan mengajakku pergi dan aku pun menurutinya karena aku ingin mengajaknya ke suatu tempat.
            “Apa, rumah Helian? Mau apa kita kesana?” tanya Reifan tak mengerti.
            “Sudahlah, kau ikut saja denganku.” jawabku.
            Kami telah sampai di depan rumahnya, dan langsung disambut oleh pembantu Helian yang sebentar lagi juga akan meninggalkan rumah penuh seni itu. Orang tua Helian sudah tiada ketika Helian duduk di bangku sekolah dasar. Aku dan Reifan dipersilahkan masuk dan aku buka papan yang tertutup kain putih itu.
            “Ini kamu Fan. Helian melukis dirimu tanpa mata karena ia tak ingin ada yang tahu kalau dia menyukai kamu dan menggambar wajahmu disini.” terangku disini.
            Reifan hanya diam dan kurasa dia tak sedikitpun menyangka semua ini. Pandanganku beralih ke sobekan kertas mungil disela-sela kuas. Aku pungut dan…..
            “Tolang, lukislah mataku untuk melengkapi lukisan wajah Reifan.” begitu pesan Helian sebelum ia mengalami operasi.
            Aku tak kuat lagi menahan tangis dan dengan gemetaran ku coba gantikan tangan Helian untuk menggores kuas itu di papan. Dan akhirnya aku bisa. Aku tatap perlahan lukisan itu lalu ku tatap Reifan. Sungguh tepat, mata Helian seakan menyatu dalam lukisan dan wajah Reifan. Setiap aku melihat Reifan, disitu pula aku melihat Helian. Karena matanya memang memancarkan cahaya seorang pelukis sejati. Reifan membawa lukisan itu, karena Helian telah ada dalam diriinya.
            Aku masih tak bisa berpikir. Cinta, lukisan, ketulusan, mata dan Helian masih terngiang dan akan selalu teringat sebagai sejarah abadi. Sejarah yang tak butuh diperingati namun akan selalu mengusik di setiap detik nan pasti dalam setiap langkah ini. Dan aku akan coba belajar darinya.
Terulah melukis Helian, walaupun kau melakukannya di surga……





Writer the best by : ROMANA DEWI P mahasiswa UNS SOLO and HARI SANTOSO :d

CERPEN TERBARU OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

7 komentar:

HARAF TIDAK MENGOMENTAR YANG TIDAK BAIK